Ilusi
Kartono Mohamad
Berkhayal adalah ciri manusia, dan khayalan ada yang dapat dicapai serta ada pula yang tetap tinggal khayalan. Khayalan yang disusun secara sistematik dan diikuti dengan program pragmatis untuk mencapainya, ia menjadi vision, cita-cita yang dapat diraih. Kalau tidak sistematik dan tidak pula dikejar melalui program yang nyata, ia akan tetap jadi khayalan.
Contohnya adalah slogan Indonesia Sehat di tahun 2010, karena tidak diikuti program yang sistematik untuk mencapainya, ia tetap tinggal khayalan. Lebih buruk lagi kalau khayalan itu tidak lagi dianggap sebagai khayalan, tetapi sudah dianggap sebagai kenyataan, maka ia jadi ilusi. Orang yang hidup dalam ilusi akan merasa bahwa khayalannya itu sudah menjadi kenyataan. Seperti Don Quixote dari La Mancha.
Karena sudah dianggap sebagai kenyataan, maka yang dilakukan pengkhayal adalah mempertahankan mati-matian khayalannya itu, atau ia tidak lagi merasa perlu berbuat untuk mencapainya. Si pengkhayal akan menjadi inert dan bahkan cenderung menolak kalau diingatkan bahwa semua itu hanya ilusi. Kalau khayalannya baik, mungkin ia akan merasa berbahagia. Namun, kalau ia berkhayal bahwa dunia sekitarnya itu jahat, ia akan berbuat destruktif karena mengira ia memerangi kejahatan.
Para teroris yang mengebom Bali juga merasa telah berjihad melawan kejahatan meskipun mereka yang mati tidak pernah mengancamnya. Persis seperti Don Quixote, yang merasa telah menjadi pahlawan karena memerangi kincir angin yang dilihatnya sebagai gergasi yang mengancam.
Baru tahap impian
Bangsa kita penuh dengan cita- cita (khayalan), antara lain ingin membangun bangsa yang maju, berdaya saing tinggi, berbudaya unggul, beriman, bertakwa, adil makmur berdasarkan Pancasila. Tidak banyak yang sadar bahwa hal itu baru di tahap impian atau khayalan. Masih perlu dikejar dengan program-program nyata untuk mencapainya.
Banyak pemimpin bangsa yang mengira bahwa kita sudah mencapai cita-cita itu, lalu hidup dalam ilusi. Tidak mau diingatkan bahwa semua itu baru sebatas khayalan. Maka, ketika di tahun 1986 dilaporkan ada AIDS di Indonesia, para pemimpin mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi karena kita adalah bangsa yang beragama dan ber- Pancasila. Akibatnya, ketika itu tidak ada upaya untuk melakukan pencegahan sejak awal. Buat apa mencegah, toh tidak mungkin kita terserang wabah HIV/AIDS? Ilusi itu kini telah buyar ditelan kenyataan.
Kita juga hidup dalam ilusi sebagai bangsa yang kaya raya sehingga para pejabat tanpa malu-malu mengeruk kekayaan negara untuk dirinya sendiri, dengan anggapan kekayaan negara ini tidak akan habis meski ia keruk sebanyak-banyaknya. Negara kita kan gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur. Lebih menyedihkan lagi karena mereka yang mengeruk kekayaan itu merasa telah berjasa terhadap negara ini sehingga merasa layak untuk mengambil imbal jasa untuk diri dan keluarganya. Seolah-olah tanpa dirinya bangsa dan negara ini sudah tidak ada lagi sejak dulu. Mereka berilusi bahwa mereka adalah pahlawan yang sudah susah payah berjuang untuk rakyat. Mereka itu adalah orang-orang yang sebenarnya sakit jiwa yang hidup dalam ilusi kegagahan dirinya, bak Don Quixote dari La Mancha.
Ilusi yang lain adalah bahwa bangsa kita bangsa yang beragama, beriman, dan bermoral yang terlihat dari banyaknya orang yang melakukan ritus agamanya. Dikatakan ilusi karena dalam kehidupan mereka sehari-hari agama itu nyaris tidak ada jejaknya. Perilaku sehari-hari kita tidak mencerminkan sebagai orang yang beragama. Untuk mengelabui diri bahwa kita benar-benar beragama, maka hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan moral agama tidak boleh tampak dari luar. Boleh dilakukan, tetapi secara diam-diam, seperti korupsi.
Dalam hal kepandaian melakukan korupsi, bangsa ini terkenal di dunia meskipun menyatakan diri sebagai bangsa yang bermoral dan penganut agama yang amanah. Korupsi bahkan dianggap sebagai hak dan dilakukan tanpa perasaan malu atau bersalah. Mereka yang korupsi merasa tindakannya tidak bertentangan dengan moral agama. Para pemimpin berilusi menjadi pemimpin yang amanah karena telah membagikan uang, sembako, dan pengobatan gratis kepada rakyat miskin. Mereka akan marah kalau dikatakan tidak memerhatikan rakyat. Soal busung lapar, wabah penyakit, dan kemiskinan, mereka anggap sebagai kesalahan rakyat. Bukan kesalahan pemimpin.
Bangsa yang bermoral
Pengertian moral pun kemudian dipersempit menjadi hal-hal yang berkaitan dengan seks, syahwat, dan sekitar organ kelamin. Karena itu, tontonan yang dianggap memancing berahi dianggap tak bermoral, sementara korupsi dan membohongi rakyat tak dianggap berkaitan dengan moral dan karena itu tetap dilakukan. Untuk mempertahankan mimpi sebagai bangsa yang bermoral, segala hal yang dapat mengusik keasyikan mimpi itu harus dilarang. Lokalisasi pelacuran dilarang karena itu mengganggu mimpi sebagai bangsa yang bermoral. Bahwa pelacuran tetap berlangsung, sebagian ditutupi dengan "nikah siri", tidak menjadi soal. Selama tak tampak dan tidak terdengar. Kita tetap mimpi sebagai bangsa yang bermoral.
Kita mungkin baru terjaga dari ilusi ketika menyadari bahwa kita bukan benar-benar bangsa yang besar. Kita adalah bangsa yang kerdil karena dalam banyak hal ternyata terpuruk berperingkat di bawah Vietnam yang baru pulih dari peperangan.
Kita mungkin juga baru akan bangun ketika sepertiga anak muda kita mati termakan HIV dan narkoba, seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika. Para tokoh agama akan mengatakan bahwa kehancuran kita disebabkan kita kurang beriman dan beragama. Ucapan yang justru membantah anggapan sendiri bahwa kita adalah bangsa yang beragama.
Ketika itu kita baru menyadari bahwa selama ini anggapan bahwa kita bangsa yang besar, bermoral, dan beragama ternyata hanya ilusi belaka. Don Quixote pun kemudian mati dalam kemiskinan.
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)
No comments:
Post a Comment